Polemik Nasab Habib Ba Alawi Selesai: Terbukti Bukan Cucu Nabi Muhammad SAW
Dua belas pertanyaan pokok terputusnya nasab Ba Alawi satupun tidak ada
yang mampu menjawab; Permintaan adanya ulama ahli nasab yang
mensyaratkan adanya kitab sezaman sebagai sumber kesahihan nasab telah
penulis berikan: kitab “Rasa’il Fi ‘Ilm al-Ansab” menyebutkan itu di
halaman 183-184; Bukti-bukti kitab sezaman -baik kitab nasab maupun
kitab sejarah- yang tidak menyebut nama-nama Ba Alawi dari abad lima
sampai sembilan telah penulis berikan. Semuanya tidak menyebut nama-nama
nasab para Habib Ba Alawi sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw. lalu apa
lagi?
Mereka kembali lagi mempermasalahkan nasab cukup di itsbat
dengan teori “syuhroh wal istifadoh”. Penulis telah sampaikan pendapat
para ulama bahwa “syuhroh wal istifadoh” tidak dapat digunakan jika
bertentangan dengan sumber-sumber sezaman. Sumber sezaman dengan
nama-nama nasab Ba Alawi dari abad lima sampai Sembilan tidak menyebut
nama-nama itu sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw. Bahkan nama-nama itu
sebagian hanya nama fiktif belaka. Lalu apalagi?
Kitab Syajarah
al-Mubarokah kembali dipermasalahkan. Katanya bukan karya Imam
Fahruradin al-Razi (w. 606 H.). kitab itu jelas kitab Imam Fakhruraddin
al-Razi. Dicatat dalam manuskrip itu bahwa ia kitab yang ditulis Imam
Fakhuddin al-Razi. manuskripnya jelas ada. Tempatnya jelas di sebut.
Nama penulis naskahnya jelas disebut. Tanggal penulisan naskahnya jelas
disebut. Lalu apa lagi?
Mau mencari kitab sezaman dengan
Ubaidillah di abad 4, tidak akan menemukan; Mau mencari kitab sezaman
dengan Alwi dan Muhammad bin Alwi di abad 5, tidak akan menjumpai; Mau
mencari kitab sezaman dengan Alwi II, Ali Khali Qosam , Muhammad “Sahib
Mirbat” dan Ali ayah Fakih Muqoddam di abad 6, tidak akan terdeteksi;
Mau mencari kitab sezaman dengan fakih Muqoddam, Alwi Ibnul Faqih di
abad 7, tidak akan terkonfirmasi; Mau mencari kitab sezaman dengan Maula
Dawilah dan Abdurrahman Assegaf di abad 8, tidak akan Nampak. Kenapa
tidak akan menemukan kitab yang sezaman disemua tingkatan itu yang
menyebut mereka sebagai cucu Nabi Muahmmad Saw? jawabannya hanya satu.
Karena mereka memang benar-benar bukan cucu Nabi Muhammad Saw. Dengan
bahasa apalagi penulis harus menyampaikan?
Jika, umpamanya,
keturunan Nabi Muhammad Saw yang lain tidak ditulis dalam kitab sezaman
dengan mereka antara abad 5-9, bolehlah kita menyatakan bahwa nasab Ba
Alawi juga ketika tidak disebut bukan berarti tidak ada. Tetapi
kenyataan menyatakan dari abad ke 5-9 itu cucu Nabi Muhammad Saw yang
lain ditulis dan disebutkan. Anak ahmad bin Isa ditulis dan disebutkan
setiap generasi. Tetapi diantara cucu Nabi Muhammad yang ditulis itu
tidak disebut ada yang namanya Ubaidillah dan keturunannya. Lalu
berdasar apa orang harus percaya Ba Alawi sebagai cucu Nabi ketika
leluhurnya tidak disebut sebagai cucu Nabi? Apakah kita harus
berpura-pura mengakui dan berpura-pura menemukan? Atau apakah demi
membela nasab Ba Alawi, seseorang harus berdusta dengan membuat
manuskrip sezaman yang palsu? Penulis kira surga dengan segala
keindahannya sangat mahal untuk ditukar dengan kedustaan untuk
menyenangkan hati Ba Alawi.
Lalu ada yang mengatakan: “Ibnu Hajar
di abad 10 Hijriah dan yang lainnya mencatat nasab Ba Alawi sampai
kepada Nabi Muhammad Saw?”. Penulis jawab: Betul para ulama besardi abad
10 H itu mencatat. Tetapi mereka mencatat di abad 10 itu, karena sudah
ada pengakuan dan penulisan kitab dari Ba Alawi di abad 9 H yang mengaku
sendiri bahwa mereka adalah cucu nabi, lalu ulama-ulama ini mengutip.
Orang mengutip bisa salah. Ulama tidak ada yang maksum. Mereka bisa
salah menerima informasi yang mereka dengar lalu mereka catat dengan
husnuzon tanpa meneliti. Itu biasa terjadi. Dan itu tidak berdosa.
Penulis sendiri dulu telah mengitsbat nasab Ba Alawi dalam kitab
penulis, al-Fikroh al-Nahdiyyah. Lalu sekarang, ketika penulis tahu
bahwa mereka bukan cucu Nabi, penulis menarik itsbat itu. Jika Ibnu
Hajar masih hidup dan mengetahui dalil-dalil keterputusan nasab Ba
Alawi, tidak mustahil Ibnu hajar akan menarik kembali pendapatnya itu.
Begitu juga ulama yang lainnya.
Ulama yang sudah wafat telah
menjalankan tugasnya yang mulia sesuai dengan hasil ijtihadnya. Mereka
mendapatkan pahala dengan ijtihadnya itu. Mereka akan masuk ke dalam
surga Allah. Zaman ini adalah zaman kita yang masih hidup. Mari kita
laksanakan tugas kita sebaik-baiknya sebagai ulama, dengan
mengetengahkan sumber-sumber yang lebih mudah kita dapatkan daripada
zaman Ibnu hajar dan yang lainnya itu. Bagi Ba Alawi, jangan malu
mengakui bahwa hasil ijtihad leluhurnya yang mengatakan mereka adalah
keturunan Nabi Muhammad adalah salah. Itu bukan hal yang hina. Bahkan,
leluhurnya bisa jadi akan berterimakasih kepada anda semua. Karena
dengan itu kesalahan selama ini tidak akan terus berlanjut sampai hari
kiamat.
Hasil uji test DNA, menurut para ahli biologi dari Badan
Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menglonfirmasi bahwa Ba Alawi yang
berhaplogroup bukan J1 itu, bukanlah keturunan Nabi Muhammad Saw, karena
telah diteliti secara matang dan disimpulkan bahwa keturunan Nabi
Muhammad Saw, semuanya berhaplogroup J1.
Terakhir, penulis
menyayangkan adanya beberapa upaya penghalangan dan pembatalan ceramah
penulis atau yang lainnya, dari ulama yang telah yakin bahwa anda
bukanlah cucu Nabi Muhammad Saw, sebagaimana penulis dan teman-teman
juga tidak pernah menghalangi kegiatan ceramah anda yang mengatakan
bahwa anda adalah cucu Nabi. Walaupun yang demikian itu sangat mudah
kami lakukan. Penulis orang NU yang diajarkan adab dan rasa malu, tidak
mungkin penulis memobilisasi masa untuk menghalangi kegiatan orang lain,
kecuali jika sudah membahayakan untuk agama, bangsa dan Negara. Masalah
nasab itu bagi kami belum ke taraf itu, walau bisa saja mengarah ke
sana. Yang penulis minta adalah kesadaran dan kebijaksanaan, oleh karena
itu yang penulis protes adalah organisasi anda, bukan kegiatan anda.
Apalagi ini masa pemilu, mari kita bantu pemerintah untuk dapat
menjalankan kegiatan rutinan pemilu ini dengan sukses, lancar dan aman.
Jika anda masih mengakui diri anda sebagai cucu Nabi, silahkan saja, itu
hak anda, tetapi tolong jangan sampai memaksa orang lain untuk
mempercayainya. Percaya dan tidak percaya akan sesuatu itu adalah hak
semua orang yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Semoga Allah selalu
membimbing kita ke jalan yang di ridoi Allah Swt. Amin.
Penulis: Imaduddin Utsman al-Bantani
Tidak ada komentar