Pitung Itu Seorang Atau Tujuh Orang?
Menyebut nama Pitung orang langsung terbayang pahlawan berasal dari tanah Betawi. Memang tak bisa dipungkiri, nama itu begitu melegenda. Pahlawan pembela wong cilik tersebut digambarkan sebagai orang yang jago beladiri, membela kaum lemah, dan melawan penjajah. Bahkan banyak yang menggambarkan sosok Pitung sebagaimana Robin Hood dalam cerita pahlawan pembela rakyat kecil di Barat. Mencuri orang gedong untuk orang cilik.
Meskipun, sebagaimana diceritakan dalam Pitung (Pituan Pitulung)-nya Iwan Mahmoed Al-Fattah, antara Pitung dan sosok Robin Hood tak bisa disamakan.
Tak sedikit yang mengira sosok Pitung adalah satu orang, masih kata Iwan Mahmoed, sebagaimana diketahui dalam cerita-cerita legenda dan dalam film “si Pitung” yang beredar di masyakarat. Banyak juga yang terpengaruh oleh propaganda kolonialis, yang mencap Pitung sebagai “perampok” yang kemudian menjadi buronan pemerintah kolonial. Kemudian ditambahilah dengan cerita-cerita mistis, bahwa Pitung adalah sosok yang sakti, kebal, tidak mempan peluru, dan hanya bisa ditembus dengan peluru emas. Cerita-cerita ini hanyalah mitos belaka, mengingat faktanya Pitung tidak seperti yang digambarkan.
Tahukah Anda, bahwa Pitung adalah singkatan dari “Pituan Pitulung”, tujuh pendekar alumni pesantren yang dibina oleh H.Naipin, Kebon Pala, Tenabang (Tanah Abang), yang berjuang membela kaum lemah dan melawan penjajahan yang dilakukan oleh kaum kaiir penjajah.
Ketujuh orang tersebut adalah; Radin Muhammad Ali Nitikusuma (dari kampung Senayan), Radin Muhammad Roji’ih Nitikusuma/Ii’ih (dari kampung Cengkareng), Ki Abdul Qodir (dari Rawa Belong), Ki Saman (dari Cileduk), .Radin Rais Sonhaji Nitikusuma/Ki Rais (dari Tenabang), Ki Somad (dari Kemanggisan),dan Ki Dulo alias Iaebullah alias Iebul (dari Kramat Togo).
Pituan Pitulung adalah gerakan tujuh orang pemuda, yang digembleng fisik dan ruhiyahnya, dibina dengan ilmu-ilmu keislaman, kemudian mencetuskan perjuangan jihad fli sabilillah melawan penjajahan, khususnya yang terjadi di Jayakarta. Mereka berjuang sampai tetes darah penghabisan, demi terbebasnya tanah kaum muslimin di Jayakarta.
Salah satu rujukan penting dari kisah Pituan Pitulung adalah Kitab Al-Fatawi yang ditulis oleh Datuk Meong Tuntu, yang kemudian pada tahun 1910 disalin kembali dalam bahasa Arab Melayu oleh KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma. Kitab ini menceritakan silsilah para pejuang Iayakarta, termasuk juga tentang gerakan Pituan Pitulung.
Sejarah Pituan Pitulung
Sejarah atau kisah tentang Pitung juga pernah ditulis pada tahun 1960-an oleh Lukman Karmani dalam sebuah novel. Lukman, seperti dikatakan Iwan Mahmoed, bahkan pernah menyutradarai Film yang berjudul “Titisan Si Pitung”, “Si Pitung Beraksi Kembali”.
Setelah munculnya tulisan Lukman, kisah Pitung juga muncul dalam sebuah naskah fllm “Si Pitung” yang ditulis oleh SM Ardan pada tahun 1970. SM Ardan mengakui bahwa referensi tekstual mengenai “Si Pitung” sangatlah terbatas, sehingga akhirnya dia mengakui bahwa naskah film yang digunakan untuk film “Si Pitung” telah ditambahkan dengan imajinasinya sendiri, sehingga sampai sekarang tidak sedikit orang memercayai bahwa film Pitung yang diproduksi tahun 1970 itu adalah cerita asli, padahal di dalamnya sudah bercampur dengan imajinasi si penulis film .
Dalam Film “Si Pitung” didapati sebuah fakta bahwa Lukman Karmani adalah penulis cerita dan SM Ardan sebagai pembuat skenario. Setelah penulisan naskah film Pitung yang diperankan oleh aktor Dicky Zulkarnaen tahun 1970, maka pada tahun yang sama muncul pula tulisan dari Tanu Trh tentang kisah Pitung.
Tanu Trh adalah seorang wartawan, penulis cerita fllm, pengarang cerita, penyusun skenario, juru kamera, juru suara, sutradara. Dia salah satu orang yang menulis tentang Pitung melalui penuturan ibunya. Melalui tulisan Tanu Trh inilah, Ridwan Saidi, salah seorang budayawan Betawi berkeyakinan jika Pitung yang dimaksud merupakan keturunan yang sama dengan keluarga Tanu Trh yang berasal dari China Benteng, Tangerang.
Setelah film “Si Pitung” dan tulisan Tanu Trh ini, kemudian muncul pula tulisan yang dibuat oleh Muhammad Musyirwan mengenai sepak terjang Pitung“, lalu disusul ada nama Palupi Damardini dari Universitas Indonesia.
Selain beberapa orang tersebut, ada nama Rahmad Ali yang menulis Pitung dalam edisi cerita rakyat. Menyusul setelah itu muncul nama Abdul Chaer yang menjadikan kisah Pitung sebagai Forklor Betawi di dalam bukunya. Bila diamati, sepertinya kisah yang ditulis Abdul Chaer lebih banyak mengambil data-data dari koran Hindia Belanda.
Nama lain yang juga tidak kalah menarik adalah Windoro Adi. Usahanya dalam menyusuri jejak sejarah Pitung patut diapresiasi. Bukunya yang berjudul “Batavia I740, Menyisir Jejak Betawi” sedikit banyak telah memberikan gambaran tentang sejarah Pitung. Uniknya, salah satu penulis yang mungkin serius membahas tentang Pitung justru berasal dari luar negeri yang bernama Margaret Van Till, bahkan tulisan tentang Pitung ini masuk sebagai bagian dari disertasinya.
Terakhir mengenai cerita tentang Pitung ditulis oleh Agus T dengan kata pengantar dari Seno Aji Gumira.
Kontroversi Buku Pituan Pitulung
Sejarawan yang juga pegiat Komunitas Bambu, JJ Rizal, ketika dimintai pendapatnya secara terpisah akhir tahu lalu (27/11/2017) mengatakan, buku Pituan Pitulung lebih banyak dichtung (khayal) daripada wermheit (kenyataannya).
Lebih lagi dalam buku ini disebutkan bahwa Pitung, yang selama ini dianggap pahlawan Betawi, ada tujuh orang. Rizal hakulyakin Pitung hanya ada satu, yakni seorang tokoh jago main pukulan yang bernama asli Salihun.
Rizal menjelaskan metodologi yang digunakan bukan metode yang lazim dalam ilmu sejarah, terutama terkait kritik sumber, sehingga sumber yang tidak valid dijadikan sumber, bahkan sumber utama. “Akibatnya, hal-hal yang paling mendasar dari sebuah tulisan sejarah—yakni apa, siapa, di mana, kapan, juga terutama mengapa—kacau, bahkan sesat,” kata dia dalam laman Liputan6.
Sementara menurut filolog Universitas Indonesia Dr Munawar Cholil dalam buku Pituan Pitulung tidak ada penjelasan yang gamblang mengenai aspek filologis dan kodikologis naskah, seperti ada berapa jumlah naskah Al Fatawi, di mana saja naskah ini disimpan, masing-masing naskah ada berapa halaman, aksara dan bahasa apa yang digunakan, menggunakan bahan apa, bagaimana penjilidan naskahnya, apakah ada kolofon pada naskah itu, bagaimana kondisi naskahnya, serta apakah naskah-naskah yang ada berupa versi atau varian.
Munawar bilang tidak ada penjelasan bagaimana penulis buku ini menggunakan informasi yang terdapat dalam naskah Al Fatawi sebagai sumber penulisan buku Pituan Pitulung.
“Tak ada transliterasi, tidak diterjemahkan, lalu bagaimana dipilihnya? Selain itu juga tidak ada keterangan apakah naskahnya dipercaya semuanya atau dikesampingkan sebagian. Itu tidak ada dalam buku ini,” Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) itu.
Wallahua’lam.
Tidak ada komentar