Jakarte Punye Cerite, Apa Kabar Salak dan Duku Condet?
Dahulu kawasan Condet, Jakarta Timur sangat dikenal dengan kawasan penghasil Salak dan Duku. Saat ini hampir tidak terlihat lagi 2 jenis pohon yang merindangi kawasan timur Ibukota tersebut. Kini, rimbunnya Condet berganti hutan beton dan deru kendaraan yang melintasi kawasan yang saat ini dikenal sebagai kawasan santri.
Warga sekitar mengenal Mat Zakap (77) sebagai tokoh masyarakat di kawasan Bale Kambang. Bahkan pemerintah kota setempat mendaulat kakek tua ini sebagai sesepuh di salah satu kelurahan di kawasan Condet, Bale Kambang.
Kepada wartawan dia telihat hatam bercerita mengenai wilayah yang dia tinggali sejak dirinya lahir 10 Juni 1934 silam. Meski rambutnya mulai rontok dan kulit muka yang berkeriput, dia masih ingat betul bagaimana salak dan duku merajai tanah kelahirannya.
"Dulu, orang sekali metik pohon salak bisa dapat 2 pikul atau 300 buah salak,\\\" cerita Zakap kepada wartawan, di kediamannya di Jalan Manunggal, RT 11 RW 2, Kelurahan Bale Kambang, Kecamatan Kramatjati, Condet, Jakarta Timur, Rabu (22\/6).
Syahdan, wilayah condet, dari mulai Jl Dewi Sartika sampai dengan temus Jl TB Simatupang, kawasan Condet dikenal rimbun. Warga asli Betawi menggantungkan hidupnya dari berkebun. Bukan hanya salak dan duku, namun juga hasil kebun lain seperti durian, dan nangka.
"Waktu masih belum banyak rumah dan gedung, dulu Rumah Gedong yang ada di ujung Condet itu kelihatan," tutur Zakap yang juga ketua RT 11 tersebut.
Rumah Gedong yang dikamsud Zakap tersebut adalah rumah besar yang dikenal dengan sebutan Groneveld atau lapangan hijau. Rumah besar tersebut sudah banyak berpindah tangan saat itu, dari mulai tuan tanah Tjaling Ament sampai dengan dimiliki oleh Gubernur Jenderal Batavia Gustaf Willem Van Imhoff. Rumah tersebut juga memiliki cerita sendiri, antara lain perekrutan perempuan berdarah Arab, Syarifah Fatimah, yang menjadi senjata Belanda untuk menaklukan Sultan Banten saat itu.
Saat detikcom mencoba menelusuri sisa-sisa keemasan Condet mulai dari Jl Dewi Sartika, hal pertama yang dijumpai adalah deretan toko-toko parfum dan pernak-pernik timur tengah. Wangi rupa-rupa menyapa akrab hidung siapapun yang melintas di mulut Jl Condet Raya.
Luas Jl Condet Raya tidak terlalu besar. Hanya muat dua metromini. Kalaupun memaksakan, sisa ruang diantara dua raja jalanan tersebut masih bisa dilalui motor. Tapi, jangan pernah mencoba menyalip dua kendaraan tersebut, apalagi keduanya datang dari arah berlawanan. Berbahaya!
Aktivitas Jl Condet Raya dikenal padat, terlebih jam berangkat dan pulang kantor. Pengendara biasa menggunakan ruas jalan tersebut untuk sebagai jalan tembus ke Jl TB Simatupang dari Cililitan atau sebaliknya. Bersiap saja, perang klakson akan memekakan telingga anda saat memacu kendaraan di jalan tersebut.
Zakap, bapak 7 anak 18 cucu dan 11 cicit ini bercerita, dahulu kala Sungai Ciliwung yang membelah kawasan Tanjung Timur dan Tanjung Barat dikenal indah dan bersih. Setiap warga Condet mengantungkan kehidupannya di pinggiran sungai yang airnya jernih, dasar sungai pun terlihat setiap orang menatap di tepian sungai.
"Sekarang jangan harap kelihatan dasarnya, yang ada plastik semua," keluh Zakap.
Masa keemasan perkebunan di Condet sangat ia rasakan. Mayoritas penduduk asli Betawi di sana bisa dikatakan berhasil dan mampu membiayai perjalan ke tanah suci berkat penjualan hasil kebun di Condet.
"Sepanjang jalan Condet orang berjajar jualan Duku dan Salak. Sekarang yang jualan salak, salak Cipondoh. Duku, duku Palembang. Mana ada lagi salak dari sini," tutur Zakap.
Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta ke-7 periode 1966-1977, sempat menjadikan kawasan Condet menjadi kawasan cagar budaya. Alasan tersebut dikuatkan dengan Surat Keputusan (SK) Gubernur No. D. IV-1511\/e\/3\/74 tanggal 30 April 1974. Dari berbagai sumber literasi yang didapati, alasan pemerintah DKI Jakarta menetapkan Condet sabagai kawasan Cagar Budaya karena ingin mempertahankan aset industri pertanian di Jakarta Timur dan juga budaya masyarakat setempat yang juga merupakan peradaban kehidupan masyarakat Betawi.
"Konsep cagar budaya di Condet bisa dikatakan gagal, karena menjadi bias dimana implementasi yang dikuatkan oleh SK Gubernur tidak mampu mempertahankan kawasan tersebut menjadi cagar budaya," kata Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Betawi, Tatang Hidayat, saat berbincang dengan wartawan.
Kegagalan tersebut, jelas Tatang, dimulai sejak Jakarta menjadi barometer ekonomi dan menampung kaum pendatang yang mengadu nasib di Ibukota. "Peraturan membangun di sana akhirnya tidak dapat dilaksanakan karena desakan pendatang ke Jakarta," ujar Tatang.
Selain karena faktor sentra agraria, di kawasan Condet juga pernah ditemukan artefak-artefak kebudayaan manusia pra-sejarah, seperti kapak batu dan perabotan rumah lain yang diperkirakan berusia lebih dari seribuan tahun di tepian Sungai Ciliwung.
"Beberapa temuan arkeologis itu saat ini dikukuhkan menjadi nama jalan, seperti Batu Ampar dan Bale Kambang," jelas Tatang.
Meski Condet dinilainya gagal menjadi kawasan cagar budaya, dirinya berharap dengan adanya Undang-undang No 29 tahun 2007 tentang pemerintahan Provinsi Daerah khusus Ibukota Jakarta, pemerintah dapat mengimplementasikan pelestarian Perkampungan Budaya Betawi (PBB) yang sekarang ada di Setu Babakan, Jakarta Selatan.
"Pemerintah Jakarta punya pengalaman dengan Condet. Jangan Sampai Condet kedua terulang di Setu Babakan. Bukan hanya peran pemerintah, masyarakat pun perlu mendukung untuk efektifitas pelaksanaan undang-undang itu," imbau Tatang.
(ahy/gah)/DETIK
Tidak ada komentar