Ini Dia 4 Jawara Betawi Tempo Dulu
Mau tahu siapa saja jawara Betawi yang
ikut berjuang melawan kompeni (penjajah)? Kali ini jakartakita.com akan
membahas 4 jawara Betawi, yang namanya diabadikan sebagai nama jalan di
Jakarta.
1. Haji Darip
Jawara asal Klender kelahiran tahun 1900. Haji Darip merupakan putra asli Betawi kelahiran tahun 1886 di Kampung Jatinegara Kaum dari pasangan Haji Kurdin dan Haji Nyai, anak ketiga dari tiga bersaudara. Hanya menempuh pendidikan nonformal belajar ngaji di kampung, di antaranya dari gurunya Haji Gayor di Klender. Pelajaran membaca dan menulis huruf latin justru diperolehnya saat di penjara dan belajar dari temannya. Tahun 1914-1919 ia dikirim orang tuanya untuk belajar agama Islam di Mekah. Pulang dari Mekah, ia menikah dengan gadis pilihan orang tuanya dan dikaruniai seorang anak. Saat anaknya berumur 2 tahun, isterinya meninggal dan tahun 1937 Haji Darip menikah lagi dengan Hajjah Amidah dan dikaruniai 11 orang putera dan puteri.
Jawara asal Klender kelahiran tahun 1900. Haji Darip merupakan putra asli Betawi kelahiran tahun 1886 di Kampung Jatinegara Kaum dari pasangan Haji Kurdin dan Haji Nyai, anak ketiga dari tiga bersaudara. Hanya menempuh pendidikan nonformal belajar ngaji di kampung, di antaranya dari gurunya Haji Gayor di Klender. Pelajaran membaca dan menulis huruf latin justru diperolehnya saat di penjara dan belajar dari temannya. Tahun 1914-1919 ia dikirim orang tuanya untuk belajar agama Islam di Mekah. Pulang dari Mekah, ia menikah dengan gadis pilihan orang tuanya dan dikaruniai seorang anak. Saat anaknya berumur 2 tahun, isterinya meninggal dan tahun 1937 Haji Darip menikah lagi dengan Hajjah Amidah dan dikaruniai 11 orang putera dan puteri.
Menurut legenda, Haji Darip memiliki
jimat yang membuatnya kebal peluru dan tahan bacok. Haji Darip juga
dianugerahi ‘aji pengasihan’ yang dapat dengan mudah menaklukan penjahat
untuk dijadikan anak buah. Selain dikenal sebagai mubaligh, ia juga
seorang yang memiliki ilmu main pukulan (ilmu silat) yang lihai. Bagi
warga Betawi dia disebut sebagai jawara sekaligus pahlawan perjuangan.
Tapi bagi pemerintah kolonial waktu itu, dia dikenal sebagai bandit.
Haji Darip dengan gerombolannya mengusik ketenangan pemerintahan Batavia.
Haji Darip dan gerombolannya mirip kisah
Robin Hood. Mereka suka menjarah kompeni, dan kaum bangsawan congkak.
Tentu saja hasil jarahan gerombolan Haji Darip akan dibagikan ke warga
pribumi Betawi. Daerah kekuasaan H. Darip, dimulai dari Bekasi,
Pulogadung, Klender sampai ke Jatinegara. Sepak terjang Haji Darip
membuatnya sering dijebloskan ke penjara oleh kompeni.
Haji Darip meninggal 13 Juni 1981. Untuk
mengenang jasanya, nama Haji Darip dijadikan nama jalan di daerah
Klender menuju Bekasi. Daerah kekuasaan Haji Darip dahulu.
2. Sabeni
Sabeni lahir sekitar tahun 1860 di Kebon Pala Tanah Abang dari orang tua bernama Channam dan Piyah. Nama Sabeni melejit setelah berhasil mengalahkan salah satu Jagoan daerah kemayoran yang berjuluk Macan Kemayoran ketika hendak melamar puteri si Macan Kemayoran untuk dijadikan isteri. Selain itu Peristiwa-peristiwa lainnya antara lain pertarungan di Princen Park (saat ini disebut Lokasari) dimana Sabeni berhasil mengalahkan Jago Kuntau dari Cina yang sengaja didatangkan oleh pejabat Belanda bernama Tuan Danu yang tidak menyukai aktivitas Sabeni dalam melatih maen pukulan para pemuda Betawi dan yang sangat fenomenal adalah ketika Sabeni dalam usia lebih dari 83 tahun berhasil mengalahkan jago-jago beladiri Yudo dan Karate yang sengaja didatangkan oleh penjajah Jepang untuk bertarung dengan Sabeni di Kebon Sirih Park (sekarang Gedung DKI) pada tahun 1943 atas kemenangannya Sabeni dibebaskan dan diberi hadiah satu dus kaos singlet satu dus Handuk.
Sabeni lahir sekitar tahun 1860 di Kebon Pala Tanah Abang dari orang tua bernama Channam dan Piyah. Nama Sabeni melejit setelah berhasil mengalahkan salah satu Jagoan daerah kemayoran yang berjuluk Macan Kemayoran ketika hendak melamar puteri si Macan Kemayoran untuk dijadikan isteri. Selain itu Peristiwa-peristiwa lainnya antara lain pertarungan di Princen Park (saat ini disebut Lokasari) dimana Sabeni berhasil mengalahkan Jago Kuntau dari Cina yang sengaja didatangkan oleh pejabat Belanda bernama Tuan Danu yang tidak menyukai aktivitas Sabeni dalam melatih maen pukulan para pemuda Betawi dan yang sangat fenomenal adalah ketika Sabeni dalam usia lebih dari 83 tahun berhasil mengalahkan jago-jago beladiri Yudo dan Karate yang sengaja didatangkan oleh penjajah Jepang untuk bertarung dengan Sabeni di Kebon Sirih Park (sekarang Gedung DKI) pada tahun 1943 atas kemenangannya Sabeni dibebaskan dan diberi hadiah satu dus kaos singlet satu dus Handuk.
Pemerintah kolonial Belanda konon dibuat
kerepotan dengan ulah Sabeni. Begitu juga pemerintah Jepang ketika
menduduki Batavia. Ulah Sabeni rupanya juga membuat geram
pemerintah Jepang saat pendudukan kala itu.
pemerintah Jepang saat pendudukan kala itu.
Sampai usia 84 tahun Sabeni masih
mengajar maen pukulan (beliau mengajar hampir keseluruh penjuru jakarta
bahkan untuk mendatangi tempat mengajar beliau biasanya berjalan kaki),
sampai meninggal dunia dengan tenang dan didampingi oleh murid dan
anak-anaknya pada hari Jumat tanggal 15 Agustus 1945 atau 2 hari sebelum
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dalam usia 85 Tahun, beliau dimakamkan
di Jalan Kuburan Lama Tanah Abang.
Sampai saat ini aliran Sabeni
dilestarikan oleh anak dan keturunan dari Sabeni dan berpusat di daerah
Tanah Abang, salah satunya adalah Bapak M. Ali Sabeni yang merupakan
anak ke-7 dari Sabeni yang selain sebagai penerus Silat Sabeni juga
seorang tokoh seniman Sambrah Betawi. Bapak M. Ali Sabeni jugalah yang
memperjuangkan agar nama Sabeni diabadikan sebagai salah satu nama jalan
di Tanah Abang, Jakarta Pusat.
3. Murtado
Murtado lahir di Kemayoran pada 1869 dan meninggal saat ulang tahun kemerdekaan ke-14 di Kebon Sirih, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ayahnya, mantan lurah bernama Murtado
Sanim, dan ibunya adalah Aminah.
Murtado lahir di Kemayoran pada 1869 dan meninggal saat ulang tahun kemerdekaan ke-14 di Kebon Sirih, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ayahnya, mantan lurah bernama Murtado
Sanim, dan ibunya adalah Aminah.
Pada masa itu, kawasan Kemayoran menjadi
kawasan ‘hitam’. Sering terjadi tindak kejahatan. Pelakunya adalah para
preman syang sengaja dibayar kompeni untuk mengacau. Para preman ini
juga ditugasi kompeni untuk menarik pajak yang ‘mencekik leher’ dari
warga pribumi.
Murtado yang jago silat, tak tinggal
diam kampungnya ‘diobrak-abrik’. Murtado bak superhero di kawasan
Kemayoran. Murtado berhasil mengalahkan preman suruhan kompeni yang
terkenal sakti, Bek Lihun. Sejak itu, Murtado dinobatkan sebagai macan
kemayoran, yang namanya juga dijadikan julukan klub sepakbola Jakarta
(Persija). Namanya juga diabadikan sebagai nama jalan di Koja, Jakarta
Utara.
4. Entong Gendut.
Menurut berbagai sumber, pada masa penjajahan Belanda rakyat Condet hidup dalam tekanan pihak Kompeni dan para tuan-tuan tanah yang bermarkas di Kampung Gedang. Seluruh tanah Condet (bahkan sampai di Tanjung Timur dan Tanjung Barat) dikuasai oleh tuan tanah. Rakyat diharuskan membayar pajak, yang ditagih oleh para mandor dan centeng tuan tanah. Pajak (blasting) sebesar 25 sen yang harus dibayarkan setiap minggu dinilai sangat berat oleh rakyat, karena harga beras masa itu hanya sekitar 4 sen per kilogram. Apabila terdapat penduduk yang belum membayar blasting, maka mereka diharuskan melakukan kerja paksa mencangkul sawah dan kebun Kompeni selama sepekan. Bahkan jika ada pemilik sawah atau kebun yang belum membayar pajak Kompeni hukumannya lebih berat, yakni hasil sawah dan kebunnya tidak boleh dipanen.
Menurut berbagai sumber, pada masa penjajahan Belanda rakyat Condet hidup dalam tekanan pihak Kompeni dan para tuan-tuan tanah yang bermarkas di Kampung Gedang. Seluruh tanah Condet (bahkan sampai di Tanjung Timur dan Tanjung Barat) dikuasai oleh tuan tanah. Rakyat diharuskan membayar pajak, yang ditagih oleh para mandor dan centeng tuan tanah. Pajak (blasting) sebesar 25 sen yang harus dibayarkan setiap minggu dinilai sangat berat oleh rakyat, karena harga beras masa itu hanya sekitar 4 sen per kilogram. Apabila terdapat penduduk yang belum membayar blasting, maka mereka diharuskan melakukan kerja paksa mencangkul sawah dan kebun Kompeni selama sepekan. Bahkan jika ada pemilik sawah atau kebun yang belum membayar pajak Kompeni hukumannya lebih berat, yakni hasil sawah dan kebunnya tidak boleh dipanen.
Menyaksikan semua penderitaan rakyat
itulah, timbul kemarahan dalam diri Entong Gendut. Ia kumpulkan seluruh
rakyat Condet dan mengibarkan panji perang melawan Kompeni.
Pada tanggal 5 April 1916 terjadilah
perang di Landhuis (dikenal sebagai villa Nova) yang ditempati Lady
Lollison dan para centengnya. Entong Gendut bersama sekitar 30 pemuda
Condet menyerbu, namun setelah datang bala bantuan dari Batavia
pemberontakan tersebut dapat dipadamkan. Entong Gendut meninggal
tertembus peluru Kompeni.
Nama Entong Gendut sempat diabadikan sebagai nama jalan di kawasan Condet sebelum diganti dengan jalan Ayaman.
Tidak ada komentar